Tidak Kaya Itu Lumrah, Tidak Bahagia Itu Parah



Menurut riset yang digelar oleh ilmuwan dari Amerika dan Inggris, ditemukan bahwa ketika kelompok elit kian kaya, maka 99 persen manusia lainnya (yang tidak kaya) di bumi justru semakin tak bahagia. Lho kok gitu?

Ya begitu. "Studi kami menunjukkan, secara rata-rata, tingkat kepuasan hidup akan turun ketika si kaya semakin kaya," tulis para peneliti dalam riset bertajuk "Top Incomes and Human Well-Being Around the World" dan disarikan kembali dalam The Guardian.

Jan‐Emmanuel De Neve dan Nattavudh Powdthavee, dua ilmuwan dalam riset itu, menulis bahwa penelitian mereka bertujuan untuk mengungkapkan pengaruh meningkatnya harta segelintir orang paling kaya di dunia dan dampaknya terhadap kondisi manusia secara keseluruhan.

Itu faktanya. Terus, apa solusinya?

"Produksi sebesar-besarnya, konsumsi sekedarnya, distribusi seluas-luasnya," itulah seruan pembimbing saya sejak dulu. Yang namanya manusia mesti produktif. Namun yang dipakai seperlunya saja, nggak konsumtif. Dengan demikian, akan banyak yang tersisa. Nah, sisanya ini didistribusikan seluas-luasnya. Berbagi.

Tentu, ini tidak mudah. Apalagi keluarga kaya cenderung ingin bersanding dengan keluarga kaya lainnya. Menurut penelitian University of California, orang tua yang kaya cenderung menikahkan anaknya demi harta dan masa depan yang lebih cerah bagi sang anak. Ini juga dilansir oleh WesternDailyPress

Begini. Tidak mudah bukan berarti mustahil. Right? Kita mulai saja dari diri kita dan keluarga kita. Berbagi. Saya melihat, ketika kekayaan terpusat pada segelintir orang, maka kedengkian dan ujung-ujungnya kriminalitas akan meningkat. Yang rugi yah semua.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to " Tidak Kaya Itu Lumrah, Tidak Bahagia Itu Parah "

Posting Komentar